William Tyndale—Pria yang Mempunyai Visi
Friday, 4 January 2019
Edit
William Tyndale—Pria yang Mempunyai Visi
William Tyndale dilahirkan di Inggris ”di perbatasan Wales”, kemungkinan di Gloucestershire, meskipun tempat dan tanggal yang pasti tidak dapat ditentukan. Pada bulan Oktober 1994, Inggris merayakan hari ulang tahun yang ke-500 dari pria yang ”memberi kita Alkitab dalam bahasa Inggris”. Karena karya ini Tyndale mati martir. Mengapa?
WILLIAM TYNDALE unggul dalam pelajaran bahasa Yunani dan Latin. Pada bulan Juli 1515, pada waktu ia berusia tidak lebih dari 21 tahun, ia menerima gelar master di Universitas Oxford. Pada tahun 1521 ia ditahbiskan menjadi imam Katolik Roma. Pada waktu itu sistem Katolik di Jerman sedang kacau karena aktivitas Martin Luther. Tetapi Inggris tetap menjadi negara Katolik hingga Raja Henry VIII akhirnya memisahkan diri dari Roma pada tahun 1534.
Suatu Langkah Iman
Setelah tamat dari Oxford dan kemungkinan pelajaran-pelajaran tambahan di Cambridge, Tyndale menjadi guru pribadi dari putra-putra John Walsh yang masih kecil selama dua tahun di Gloucestershire. Selama jangka waktu ini, ia memupuk keinginannya untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris, dan pastilah ia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keterampilannya menerjemahkan dengan bantuan teks Alkitab baru dari Erasmus yang dilengkapi kolom-kolom yang pararel dalam bahasa Yunani dan Latin. Pada tahun 1523, Tyndale meninggalkan keluarga Walsh dan pergi ke London. Tujuannya adalah untuk mendapatkan izin bagi terjemahannya dari Cuthbert Tunstall, uskup London.
Wewenang Tunstall dibutuhkan karena ketentuan dari sinode pada tahun 1408 di Oxford, yang dikenal sebagai Konstitusi Oxford, memasukkan larangan menerjemahkan atau membaca Alkitab dalam bahasa sehari-hari, kecuali mendapat izin dari uskup. Karena berani melanggar larangan ini, banyak pengabar keliling yang dikenal sebagai kaum Lollard dibakar sebagai orang bidah. Kaum Lollard membaca dan menyebarkan Alkitab John Wycliffe, suatu terjemahan bahasa Inggris dari Vulgata. Tyndale merasa bahwa saatnya telah tiba untuk menerjemahkan tulisan-tulisan Kristen dari bahasa Yunani ke dalam versi yang baru dan autentik bagi gerejanya dan bagi masyarakat Inggris.
Uskup Tunstall adalah pria yang berpengetahuan yang telah berbuat banyak untuk menganjurkan Erasmus. Sebagai bukti dari keterampilannya sendiri, atas persetujuan Tunstall, Tyndale telah menerjemahkan salah satu pidato Isocrates, sebuah teks Yunani yang sulit. Tyndale begitu optimis bahwa Tunstall akan bersahabat dan melindungi serta menerima tawarannya untuk menerjemahkan Alkitab. Apa yang akan dilakukan uskup itu?
Penolakan—Mengapa?
Walaupun Tyndale mendapat surat rekomendasi, Tunstall tidak mau bertemu dengan dia. Karena itu Tyndale harus menulis surat agar dapat diwawancara. Tidak diketahui apakah akhirnya Tunstall berkenan menemui Tyndale, tetapi tanggapannya adalah, ’Rumah ini sudah penuh.’ Mengapa Tunstall dengan sengaja menghina Tyndale?
Pekerjaan reformasi oleh Luther di benua Eropa mengakibatkan keprihatinan yang besar bagi Gereja Katolik, dengan berbagai dampak di Inggris. Pada tahun 1521, Raja Henry VIII menerbitkan sebuah tulisan yang berapi-api yang membela paus terhadap Luther. Didorong rasa terima kasih, sang paus menganugerahkan gelar kepada Henry sebagai ”Pembela Iman”.* Kardinal Wolsey dari Henry VIII juga aktif, menghancurkan buku-buku Luther yang diimpor secara ilegal. Sebagai uskup Katolik yang loyal kepada paus, raja, dan kardinalnya, Tunstall merasa memiliki kewajiban moral untuk memberangus setiap pemikiran yang mungkin bersifat simpati kepada pemberontakan Luther. Tyndale adalah orang utama yang dicurigai. Mengapa?
Selama ia tinggal bersama keluarga Walsh, Tyndale tanpa gentar berbicara dengan tegas terhadap kebodohan dan kefanatikan dari pemimpin agama setempat. Di antara mereka adalah John Stokesley yang telah mengenal Tyndale di Oxford. Belakangan ia menggantikan Cuthbert Tunstall sebagai uskup dari London.
Tentangan terhadap Tyndale juga nyata dalam suatu konfrontasi dengan seorang pemimpin agama tingkat tinggi yang mengatakan, ”Bagi kita, lebih baik tidak memiliki hukum Allah daripada hukum paus.” Dengan kata-kata yang mudah diingat, Tyndale menjawab, ’Saya menentang Paus dan seluruh hukumnya. Jika Allah mengizinkan saya hidup, dalam waktu beberapa tahun saya akan membuat seorang bocah yang menarik bajak dapat mengerti Alkitab lebih banyak daripada Anda.’
Tyndale harus tampil di hadapan pengurus keuskupan Worcester karena tuduhan palsu bahwa ia seorang bidah. ”Ia mengancam saya dengan kejam, dan mencerca saya,” kenang Tyndale, dan menambahkan bahwa ia diperlakukan seperti ”anjing”. Tetapi tidak ada bukti untuk menghukum Tyndale karena alasan bidah. Para sejarawan percaya bahwa segala hal ini secara diam-diam disampaikan ke Tunstall untuk mempengaruhi keputusannya.
Setelah berada di London selama satu tahun, Tyndale menyimpulkan, ”Tidak ada tempat di istana tuanku di London untuk menerjemahkan Perjanjian Baru, tetapi juga . . . tidak ada tempat di seluruh Inggris untuk melakukan hal itu.” Ia benar. Dalam suasana tegang yang diakibatkan oleh karya Luther, percetakan mana di Inggris yang berani memproduksi Alkitab dalam bahasa Inggris? Maka pada tahun 1524, Tyndale menyeberangi Selat Inggris, dan tidak pernah kembali.
Ke Eropa dan Problem-Problem Baru
Dengan membawa buku-bukunya yang berharga, William Tyndale mendapatkan suaka di Jerman. Ia membawa 10 poundsterling yang dengan murah hati diberikan oleh temannya, Humphrey Monmouth seorang pedagang yang berpengaruh di London. Pemberian ini hampir cukup pada waktu itu untuk memungkinkan Tyndale mencetak Kitab-Kitab Yunani yang ia rencanakan untuk diterjemahkan. Monmouth kemudian ditahan karena membantu Tyndale dan karena dugaan bersimpati terhadap Luther. Monmouth diinterogasi dan dijebloskan ke Menara London, dan dibebaskan hanya setelah memohon pengampunan dari Kardinal Wolsey.
Tepatnya ke mana Tyndale pergi di Jerman tidak diketahui dengan pasti. Beberapa bukti memperlihatkan bahwa ia ke Hamburg, tempat ia mungkin berada selama satu tahun. Apakah ia bertemu Luther? Hal ini tidak pasti, meskipun tuduhan terhadap Monmouth mengatakan bahwa ia memang bertemu. Satu hal yang pasti: Tyndale sibuk mengerjakan terjemahan Kitab-Kitab Yunani. Di mana manuskripnya dapat dicetak? Ia mempercayakan pekerjaan ini kepada Peter Quentell di Cologne.
Semuanya berjalan lancar sampai John Dobneck, di tempat lain dikenal sebagai Cochlaeus, mengetahui apa yang sedang terjadi. Cochlaeus segera melaporkan penemuannya kepada seorang teman karib dari Henry VIII yang dengan segera mendapatkan izin untuk melarang Quentell mencetak terjemahan Tyndale.
Tyndale dan asistennya, William Roye, lari menyelamatkan diri, membawa halaman-halaman Injil Matius yang telah dicetak. Mereka berlayar melalui Sungai Rhine menuju Worms, tempat mereka menyelesaikan pekerjaan ini. Akhirnya, 6.000 salinan dari edisi pertama Perjanjian Baru dari Tyndale dicetak.*
Sukses—Walaupun Tentangan
Menerjemahkan dan mencetak adalah suatu problem. Membawa Alkitab ke Inggris adalah problem lain. Agen-agen gereja dan kalangan berwenang duniawi bertekad untuk mencegah pengiriman menyeberangi Selat Inggris, tetapi para pedagang yang ramah menyediakan jalan keluar. Buku-buku tersebut disembunyikan di dalam tumpukan kain dan barang dagangan lain, dan diselundupkan ke pantai Inggris dan terus ke Skotlandia. Tyndale merasa besar hati, tetapi perjuangannya barulah mulai.
Pada tanggal 11 Februari 1526, Kardinal Wolsey, yang ditemani oleh 36 uskup dan para pejabat gereja lain, berkumpul dekat Katedral St. Paul di London ”untuk menyaksikan keranjang-keranjang besar yang penuh dengan buku dilemparkan ke dalam api”. Di antaranya terdapat beberapa salinan dari terjemahan Tyndale yang berharga. Dari edisi pertama ini, sekarang hanya ada dua salinan yang masih ada. Satu-satunya salinan yang lengkap (tidak termasuk halaman judul) ada di Perpustakaan Inggris. Ironisnya, salinan yang satu lagi, dengan 71 halaman yang hilang, ditemukan di Perpustakaan Katedral St. Paul. Bagaimana salinan itu bisa ada di situ, tidak seorang pun tahu.
Tanpa gentar, Tyndale terus memproduksi edisi-edisi baru dari terjemahannya, yang secara sistematis disita dan dibakar oleh para pemimpin agama Inggris. Kemudian Tunstall mengubah taktiknya. Ia membuat persekongkolan dengan seorang pedagang bernama Augustine Packington untuk membeli semua buku yang ditulis oleh Tyndale, termasuk Perjanjian Baru, agar dapat membakar buku-buku itu. Hal ini diatur dengan Tyndale, yang dengannya Packington telah membuat perjanjian. Chronicle Halle mengatakan, ”Uskup mendapat buku, Packington mendapat ucapan terima kasih, dan Tyndale mendapat uang. Setelah itu pada waktu lebih banyak Perjanjian Baru dicetak, semakin banyak Alkitab masuk dengan cepat ke Inggris.”
Mengapa pemimpin agama begitu menentang Terjemahan Tyndale? Vulgata Latin cenderung untuk menyembunyikan teks sucinya, sedangkan terjemahan Tyndale dari bahasa Yunani asli untuk pertama kali menyampaikan berita-berita Alkitab dalam bahasa yang jelas kepada orang-orang Inggris. Misalnya, Tyndale memilih untuk menerjemahkan kata Yunani a·gaʹpe sebagai ”kasih” sebaliknya daripada ”derma” di 1 Korintus pasal 13. Ia berkukuh dengan kata ”sidang” sebaliknya daripada ”gereja” untuk menekankan orang-orang yang beribadat, bukan bangunan gereja. Akan tetapi, yang dianggap paling keterlaluan oleh para pemimpin agama adalah ketika Tyndale mengganti kata ”imam” dengan ”penatua” dan menggunakan kata ”bertobat” sebaliknya daripada ”melakukan penitensi”, dengan demikian melucuti pemimpin agama dari kekuasaan keimaman mereka yang palsu. Sehubungan hal ini David Daniell mengatakan, ”Api penyucian tidak ada di sana; tidak ada pengakuan dan penitensi secara oral. Dua pendukung untuk kekayaan dan kekuasaan Gereja ambruk.” (William Tyndale—A Biography) Itu adalah tantangan yang ditimbulkan oleh terjemahan Tyndale, dan ilmu pengetahuan modern sepenuhnya mengakui keakuratan pilihan kata-katanya.
Antwerpen, Pengkhianatan, dan Kematian
Antara tahun 1526 dan 1528, Tyndale pindah ke Antwerpen, tempat ia dapat merasa aman di antara para pedagang Inggris. Di sanalah ia menulis The Parable of the Wicked Mammon (Perumpamaan Tentang Mamon yang Jahat), The Obedience of a Christian Man (Ketaatan Seorang Pria Kristen), dan The Practice of Prelates (Praktek dari Wali Gereja). Tyndale meneruskan pekerjaan terjemahannya dan ia adalah orang pertama yang menggunakan nama Allah, Yehuwa, dalam terjemahan bahasa Inggris dari Kitab-Kitab Ibrani. Nama itu muncul lebih dari 20 kali.
Selama Tyndale tinggal bersama teman dan penyedia dana, Thomas Poyntz di Antwerpen, ia aman dari intrik-intrik Wolsey dan mata-matanya. Ia tersohor karena ia suka mengurus orang-orang yang sakit dan yang miskin. Akhirnya, seorang pria Inggris bernama Henry Phillips dengan licik mendapatkan kepercayaan Tyndale. Akibatnya, pada tahun 1535, Tyndale dikhianati dan dibawa ke Kastel Vilvorde, yang letaknya 10 kilometer di sebelah utara Brussels. Di sana ia dipenjarakan selama 16 bulan.
Siapa yang menyewa Phillips tidak diketahui dengan pasti, tetapi orang yang dicurigai adalah Uskup Stokesley, yang pada waktu itu sibuk membakari ”orang-orang bidah” di London. Menjelang kematiannya di tempat tidur pada tahun 1539, Stokesley ”bergirang bahwa semasa hidupnya ia telah membakar lima puluh orang bidah”, kata W. J. Heaton dalam The Bible of the Reformation. Dalam jumlah itu termasuk William Tyndale, yang dicekik sebelum mayatnya dibakar di hadapan umum pada bulan Oktober 1536.
Tiga doktor teologia terkenal dari Universitas Katolik Louvain, tempat Phillips pernah mendaftar, duduk dalam komisi yang mengadili Tyndale. Tiga orang pendeta dari Louvain dan tiga uskup bersama pejabat-pejabat lain juga hadir untuk menyaksikan Tyndale dihukum karena kebidahan dan diturunkan dari jabatannya sebagai imam. Semua bergirang akan kematiannya, kemungkinan pada usia 42 tahun.
”Tyndale,” kata seorang penulis biografi bernama Robert Demaus kira-kira seratus tahun yang lalu, ”selalu menonjol dalam kejujurannya yang tanpa gentar.” Kepada John Frith, rekan sekerjanya yang juga dibakar di London oleh Stokesley, Tyndale menulis, ”Saya tidak pernah mengubah satu suku kata dari firman Allah yang bertentangan dengan hati nurani saya, saya pun tidak akan melakukannya sampai hari ini, walaupun semua yang ada di bumi, entah itu kesenangan, kehormatan, atau kekayaan, mungkin dihadiahkan kepada saya.”
Demikianlah William Tyndale mengorbankan kehidupannya untuk hak istimewa memberikan Alkitab kepada orang-orang Inggris sehingga mereka dengan mudah dapat mengerti. Sungguh mahal harga yang ia bayarkan—tetapi sungguh suatu pemberian yang tak ternilai harganya!
[Catatan Kaki]
Fidei Defensor (Pembela Iman) segera dicetak pada koin-koin dari kerajaan itu, dan Henry meminta agar gelar ini diberikan kepada penerus-penerusnya. Sekarang, gelar itu tampak di sekeliling kepala raja pada koin-koin Inggris sebagai Fid. Def., atau hanya sebagai F.D. Menarik, ”Pembela Iman” kemudian dicetak sebagai pengabdian kepada King James dalam King James Version tahun 1611.
Jumlah ini tidak pasti; beberapa sumber mengatakan 3.000.
[Kotak di hlm. 29]
TERJEMAHAN-TERJEMAHAN AWAL
PERMOHONAN Tyndale untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa yang digunakan kaum awam bukanlah hal yang tidak masuk akal atau tanpa preseden. Sebuah terjemahan ke dalam Anglo-Saxon dibuat pada abad kesepuluh. Alkitab tercetak yang diterjemahkan dari bahasa Latin telah dengan bebas beredar di Eropa pada akhir abad ke-15: Jerman (1466), Italia (1471), Prancis (1474), Ceko (1475), Belanda (1477), dan Catalan (1478). Pada tahun 1522, Martin Luther menerbitkan Perjanjian Baru-nya di Jerman. Yang Tyndale tanyakan hanyalah mengapa hal yang sama tidak diizinkan di Inggris.
[Keterangan Gambar di hlm. 26]
Alkitab dalam latar belakangnya: © The British Library Board; William Tyndale: Atas kebaikan dari Kepala Sekolah, Para Mahasiswa dan Para Sarjana dari Hertford College, Oxford