NISAN SALIB; MENGURAI NALAR "KENAPA KAMI OGAH MATI BERDEKATAN DENGAN KALIAN
Friday, 4 January 2019
Edit
NISAN SALIB; MENGURAI NALAR "KENAPA KAMI OGAH MATI BERDEKATAN DENGAN KALIAN"
Setelah kasus penggergajian nisan salib di Kotagede mencuat beberapa waktu lalu, belasan lagi dirusak di Makam Girilaya Magelang, Rabu (2/1). Polisi yang tengah menyelidiki kasus ini menduga peristiwa ini berkaitan dengan vandalisme.
Girilaya sendiri adalah makam umum (TPU), yang artinya semua jenazah bisa dibumikan di sana. Tak peduli apapun agamanya.
Pengrusakan ini akan sangat sulit dicerna jika dilakukan kalangan Kristen sendiri atau non-Muslim lainnya. Bisa jadi pelakunya ateis, agnostik, atau seorang Muslim.
Tulisan ini hendak menyusuri kemungkinan warisan nalar keengganan sebagian besar Muslim melihat jenazah Islam-Kristen dicampur dalam satu komplek kuburan.
Hipotesis saya; sangat mungkin Pakta Umar (644 M) punya andil signifikan membentuk nalar segregatif umat Islam dalam mengatur pemakamannya bersama non-muslim, sehingga Peristiwa Kotagede mencuat. Namun, bagaimana hal ini bisa terjadi?
---
Saat Peristiwa Kotagede ramai di media sosial, aku tengah dalam perjalanan menuju Surabaya untuk menghadiri perayaan Natal GPPS Bethlehem di aula UK Petra, Selasa (18/12). Aku duduk di gerbong 5 kursi 3A kereta KRD. Di depanku, ada dua santriwati kelas 1 Aliyah, setingkat SMA. Mereka yang sedang liburan ke rumah temannya mengaku nyantri di dua pesantren dekat kampusku di Tebuireng. Aku kenal para pengasuhnya.
"Dik, bolehkah aku tahu pendapatmu? Jika sebuah desa dihuni warga Islam dan Kristen, dan mereka hanya punya satu pemakaman, setujukah kalian orang Kristen dikubur campur dengan orang Islam?" tanyaku.
"Tidak setuju. Mereka tidak boleh dicampur. Harus punya makam sendiri," kata salah satu dari mereka dan diamini teman sebelahnya.
"Kenapa bisa seperti itu? Apa alasanmu?" tanyaku agak mendesak dengan ramah tentunya.
Mereka berdua saling berpandangan dan tetap tersenyum.
"Ya pokoknya begitu. Nggak boleh," kata yang berjilbab pink.
"Apakah kalian pernah diajarkan berpendapat seperti ini di pondok, atau ini murni hasil pemikiran kalian sendiri?" aku terus menyelidik.
"Pemikiran sendiri," lagi-lagi yang berbaju pink angkat bicara.
Saya berfikir keras dari mana gagasan ini menghinggapi mereka. Hipotesis saya, hal ini sangat mungkin karena kuncian dogma kebenaran tunggal Islam di antara agama lain tanpa diimbangi penjelasan bahwa misi Islam sebenarnya adalah rahmatan lil alamin -- bukan rahmatan lil muslimin.
Karena wataknya yang superior seperti ini maka menjadi "wajar" jika Islam terasa egois, melihat agama-agama lain sebagai yang inferior. Bagi Islam model ini, keselamatan hanya milik superior, dan yang paling penting harus ada tembok tebal yang mensegregasi keduanya; gelap dan terang tak bisa bersatu, meminjam istilah Alkitab.
Penolakan makam Katolik di Jogja adalah bagian dari implikasi atas model Islam yang terus-terusan merawat prasangka negatif terhadap agama lain, termasuk Katolik.
*Pakta Umar*
Secara khusus, jika mau dilacak jauh ke belakang, penolakan di Jogja 1tidak bisa dilepaskan dari preseden historik saat Umar bin Khattab menginvasi Sham (Syiria) yang dihuni oleh komunitas Kristen/Katolik sekitar tahun 644 M.
Setelah diinvasi, seluruh penduduk non-Muslim di wilayah tersebut berstatus "dhimmi" yang artinya "dilindungi," dalam artian dibiarkan hidup menjalani keyakinannya dengan berbagai macam limitasi hak serta beban kewajiban lebih ketimbang muslim. Umar kemudian menetapkan serangkaian aturan yang diskriminatif terhadap para dhimmi yang dikenal sebagai Pact of Umar (al-'uhdat al-Umariyyah).
Anda boleh tidak percaya, namun sebagaimana tulisan Mark A Cohen, "What was the Pact of 'Umar ? A Literary-Historical Study," jenazah para dhimmi memang dilarang dikubur dalam satu areal pemakaman dengan Muslimkarena mereka dianggap tidak beriman. Mereka yang hidup juga tidak boleh berdoa dengan suara keras ketika ada yang meninggal.
Pemisahan ini merupakan bagian dari penghukuman karena mereka tidak mau mengubah keyakinan menjadi Islam. Tidak hanya saat mati, ketika hidup para dhimmi juga menanggung beban diskriminasi yang sangat berat di bawah pemerintahan Islam.
Mereka dilarang membangun/memugar/merenovasi gereja, atau memperlihatkan salib di tempat umum yang dilalui warga Islam. Namun lonceng gereja tetap bisa dibunyikan meski harus dengan sangat lirih.
Non-muslim tidak boleh mengajak muslim masuk agamanya namun tidak boleh melarang jika ada yang masuk Islam. Mereka juga wajib membuka lebar pintu rumahnya untuk menampung orang Muslim dan menyediakan akomodasi. Non muslim tidak diperbolehkan meniru umat Islam --pakaian, dialek maupun nama. Al-Quran terlarang dipelajari non-muslim. Jika ada muslim yang menghendaki tempat duduk di sebuah tempat padahal telah diduduki dhimmi, maka mereka harus menyingkir.
Dhimmi juga dilarang menyalakan lampu di jalan milik muslim atau di pasar. Budak yang telah menjadi hak muslim terlarang dimiliki non-muslim. Dan, rumah non-muslim tidak boleh lebih tinggi dari milik muslim. Mereka juga dilarang mengukir, melukis atau menulis simbol-simbol yang bisa dikaitkan dengan " milik" muslim.
Umar bin Khattab kemudian menambah tiga klausul lagi yang harus dipatuhi Kristen Syiria, yakni larangan menyerang muslim, larangan menebus seseorang yang ditawan orang muslim, dan klausul; siapa saja yang menyerang umat Islam dengan sengaja maka nyawanya tidak akan dilindungi.
----
Pakta ini menurut Milka Levy-Rubin dalam Non-Muslims in the Early Islamic Empire (2011), juga dimplementasikan secara variatif oleh Khalifah Umar bin Abd Aziz (717-720 M), al-Manshur (754-775 M), Harun al-Rashid (786-809 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Saat para bawahannya tidak lagi tertib mengawasi pelaksanaan pakta ini, Umar bin Abdul Aziz kabarnya memberikan instruksi agar aparatusnya tidak teledor mengawasi para dhimmi.
"Mengenai masalah ini, kalian tidak diperbolehkan membiarkan munculnya tanda salib dalam bentuk apapun. Harus dihancurkan atau dihapus," katanya. Ia juga menambahkan warga Yahudi dan Kristen tidak diperkenankan duduk di pelana, namun harus di tempat barang (pack-saddle). Perempuan non-muslim juga tidak boleh memakai pelana dari kulit dan harus duduk di tempat barang kalau naik kuda atau keledai.
"Laksanakan tugas ini segera. Larang mereka mengenakan gaun panjang (qaba'), baju sutra dan surban. Awasi mereka yang berada dalam wilayah kalian untuk tidak melanggar hal ini," tegas Umar bin Abdul Azis.
Pakta Umar ini mirip surat pernyataan yang disodorkan dan wajib ditandatangani oleh keluarga almarhum di Kotagede. Seolah-olah inisiatif keluarga almarhum padahal mereka tidak punya pilihan lain.
*MENJADI RUJUKAN*
Sudah dapat diduga, dokumen pakta ini selanjutnya menjadi semacam yurisprudensi dan dicecap para sarjana muslim yang hidup belakangan, misalnya oleh Imam Syafii (w. 820 M), madzhab fiqh paling populer di kalangan muslim Indonesia, dalam magnum opus Kitab al-Umm. Pakta Umar juga dikutip oleh al-Mawardi (w. 153 M) dalam kitab fiqh politik al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, serta Ibn Kathir (w. 1373 M) dalam Tafsir al-Quran al-'Adzim.
Ketiga karya tersebut hingga saat ini masih dianggap sebagai rujukan penting diskursus hukum dan politik Islam dalam sistem pendidikan Islam Indonesia, termasuk pesantren. Dan belum ada karya intelektual yang berani menganulir "keabsahan" ketiganya.
ABSENNYA ARGUMENTASI
Namun, apakah memisahkan kuburan Muslim dan pemeluk agama lain punya dasar kuat secara tekstual? Sejauh yang saya pelajari, tidak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang memerintahkan pemisahan, penggergajian simbol agama lain di kuburan, atau pelarangan ritual di dalamnya.
Juga, belum saya temukan hadits berstatus mutawattir -- level tertinggi keotentikan sebuah hadits-- terkait hal itu.
Satu-satunya hadits yang berhasil saya temukan berkaitan dengan kuburan non-muslim (mushrik) adalah cerita perjalanan Nabi bersama Bashir yang melewati kuburan Muslim dan non-Muslim sebagaimana direkam dalam Nasai, Abu Dawud, Majah dan Ahmad. Dengan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim dalam kitab Ta'liqat, Dr. Ahmad Shafaat dalam Burying a non-Muslim in a Muslim Cemetery and Vice Versa, menyatakan hadits ini berstatus dlaif (lemah) karena dipersoalkan kevalidannya oleh para ahli hadits
Dengan demikian, aksi pemisahan kuburan muslim dan non-muslim sebenarnya tidak cukup punya basis quranik maupun justifikasi praktek kenabian yang jelas dan tegas. Namun demikian upaya kekerasan terhadap makam Katolik di Kotagede adalah bagian tak terpisah dari paket besar sikap antagonistik Islam klasik terhadap dua agama pendahulunya, Kristen dan Yahudi.
Sikap ini, harus diakui, mendapat porsi sangat besar dalam al-Quran terutama ayat-ayat yang turun saat Nabi di Madinah bersama kekuatan politiknya yang menguat.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan kitab (Yahudi dan Nasrani), hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."
(QS. 9:29).
Terhadap ayat di atas yang masih berstatus aktif (belum dianulir/mansukh) terdapat dua kubu yang berselisih dalam penafsiran. Kubu Islam-ideologis; memaknai ayat ini secara literal dan wajib dikobarkan dalam berbagai bentuk; dari yang paling ekstrim model ISIS hingga yang moderat --memperjuangkan tegaknya negara Islam Indonesia melalui jalur konstitusional. Perusak simbol salib Kota Gede masuk dalam kategori ini.
Di sisi lain, ada kubu Islam substantif yang digawangi oleh alm. Gus Dur. Kubu ini cenderung memaknai ayat ini dalam konteks yang sangat spesifik, yakni situasi perang yang tidak lagi dijumpai saat ini di Indonesia. Umat Islam boleh berperang, menurut kubu ini, jika dan hanya jika diusir dari negerinya secara melawan hukum. Islam substantif takkan melarang percampuran kuburan apalagi tega menggergaji dan menghancurkan salib.(*)
Aan Anshori, kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), studi S2 Hukum Keluarga Islam Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang.
Sumber: FB Aan Anshori
Setelah kasus penggergajian nisan salib di Kotagede mencuat beberapa waktu lalu, belasan lagi dirusak di Makam Girilaya Magelang, Rabu (2/1). Polisi yang tengah menyelidiki kasus ini menduga peristiwa ini berkaitan dengan vandalisme.
Girilaya sendiri adalah makam umum (TPU), yang artinya semua jenazah bisa dibumikan di sana. Tak peduli apapun agamanya.
Pengrusakan ini akan sangat sulit dicerna jika dilakukan kalangan Kristen sendiri atau non-Muslim lainnya. Bisa jadi pelakunya ateis, agnostik, atau seorang Muslim.
Tulisan ini hendak menyusuri kemungkinan warisan nalar keengganan sebagian besar Muslim melihat jenazah Islam-Kristen dicampur dalam satu komplek kuburan.
Hipotesis saya; sangat mungkin Pakta Umar (644 M) punya andil signifikan membentuk nalar segregatif umat Islam dalam mengatur pemakamannya bersama non-muslim, sehingga Peristiwa Kotagede mencuat. Namun, bagaimana hal ini bisa terjadi?
---
Saat Peristiwa Kotagede ramai di media sosial, aku tengah dalam perjalanan menuju Surabaya untuk menghadiri perayaan Natal GPPS Bethlehem di aula UK Petra, Selasa (18/12). Aku duduk di gerbong 5 kursi 3A kereta KRD. Di depanku, ada dua santriwati kelas 1 Aliyah, setingkat SMA. Mereka yang sedang liburan ke rumah temannya mengaku nyantri di dua pesantren dekat kampusku di Tebuireng. Aku kenal para pengasuhnya.
"Dik, bolehkah aku tahu pendapatmu? Jika sebuah desa dihuni warga Islam dan Kristen, dan mereka hanya punya satu pemakaman, setujukah kalian orang Kristen dikubur campur dengan orang Islam?" tanyaku.
"Tidak setuju. Mereka tidak boleh dicampur. Harus punya makam sendiri," kata salah satu dari mereka dan diamini teman sebelahnya.
"Kenapa bisa seperti itu? Apa alasanmu?" tanyaku agak mendesak dengan ramah tentunya.
Mereka berdua saling berpandangan dan tetap tersenyum.
"Ya pokoknya begitu. Nggak boleh," kata yang berjilbab pink.
"Apakah kalian pernah diajarkan berpendapat seperti ini di pondok, atau ini murni hasil pemikiran kalian sendiri?" aku terus menyelidik.
"Pemikiran sendiri," lagi-lagi yang berbaju pink angkat bicara.
Saya berfikir keras dari mana gagasan ini menghinggapi mereka. Hipotesis saya, hal ini sangat mungkin karena kuncian dogma kebenaran tunggal Islam di antara agama lain tanpa diimbangi penjelasan bahwa misi Islam sebenarnya adalah rahmatan lil alamin -- bukan rahmatan lil muslimin.
Karena wataknya yang superior seperti ini maka menjadi "wajar" jika Islam terasa egois, melihat agama-agama lain sebagai yang inferior. Bagi Islam model ini, keselamatan hanya milik superior, dan yang paling penting harus ada tembok tebal yang mensegregasi keduanya; gelap dan terang tak bisa bersatu, meminjam istilah Alkitab.
Penolakan makam Katolik di Jogja adalah bagian dari implikasi atas model Islam yang terus-terusan merawat prasangka negatif terhadap agama lain, termasuk Katolik.
*Pakta Umar*
Secara khusus, jika mau dilacak jauh ke belakang, penolakan di Jogja 1tidak bisa dilepaskan dari preseden historik saat Umar bin Khattab menginvasi Sham (Syiria) yang dihuni oleh komunitas Kristen/Katolik sekitar tahun 644 M.
Setelah diinvasi, seluruh penduduk non-Muslim di wilayah tersebut berstatus "dhimmi" yang artinya "dilindungi," dalam artian dibiarkan hidup menjalani keyakinannya dengan berbagai macam limitasi hak serta beban kewajiban lebih ketimbang muslim. Umar kemudian menetapkan serangkaian aturan yang diskriminatif terhadap para dhimmi yang dikenal sebagai Pact of Umar (al-'uhdat al-Umariyyah).
Anda boleh tidak percaya, namun sebagaimana tulisan Mark A Cohen, "What was the Pact of 'Umar ? A Literary-Historical Study," jenazah para dhimmi memang dilarang dikubur dalam satu areal pemakaman dengan Muslimkarena mereka dianggap tidak beriman. Mereka yang hidup juga tidak boleh berdoa dengan suara keras ketika ada yang meninggal.
Pemisahan ini merupakan bagian dari penghukuman karena mereka tidak mau mengubah keyakinan menjadi Islam. Tidak hanya saat mati, ketika hidup para dhimmi juga menanggung beban diskriminasi yang sangat berat di bawah pemerintahan Islam.
Mereka dilarang membangun/memugar/merenovasi gereja, atau memperlihatkan salib di tempat umum yang dilalui warga Islam. Namun lonceng gereja tetap bisa dibunyikan meski harus dengan sangat lirih.
Non-muslim tidak boleh mengajak muslim masuk agamanya namun tidak boleh melarang jika ada yang masuk Islam. Mereka juga wajib membuka lebar pintu rumahnya untuk menampung orang Muslim dan menyediakan akomodasi. Non muslim tidak diperbolehkan meniru umat Islam --pakaian, dialek maupun nama. Al-Quran terlarang dipelajari non-muslim. Jika ada muslim yang menghendaki tempat duduk di sebuah tempat padahal telah diduduki dhimmi, maka mereka harus menyingkir.
Dhimmi juga dilarang menyalakan lampu di jalan milik muslim atau di pasar. Budak yang telah menjadi hak muslim terlarang dimiliki non-muslim. Dan, rumah non-muslim tidak boleh lebih tinggi dari milik muslim. Mereka juga dilarang mengukir, melukis atau menulis simbol-simbol yang bisa dikaitkan dengan " milik" muslim.
Umar bin Khattab kemudian menambah tiga klausul lagi yang harus dipatuhi Kristen Syiria, yakni larangan menyerang muslim, larangan menebus seseorang yang ditawan orang muslim, dan klausul; siapa saja yang menyerang umat Islam dengan sengaja maka nyawanya tidak akan dilindungi.
----
Pakta ini menurut Milka Levy-Rubin dalam Non-Muslims in the Early Islamic Empire (2011), juga dimplementasikan secara variatif oleh Khalifah Umar bin Abd Aziz (717-720 M), al-Manshur (754-775 M), Harun al-Rashid (786-809 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Saat para bawahannya tidak lagi tertib mengawasi pelaksanaan pakta ini, Umar bin Abdul Aziz kabarnya memberikan instruksi agar aparatusnya tidak teledor mengawasi para dhimmi.
"Mengenai masalah ini, kalian tidak diperbolehkan membiarkan munculnya tanda salib dalam bentuk apapun. Harus dihancurkan atau dihapus," katanya. Ia juga menambahkan warga Yahudi dan Kristen tidak diperkenankan duduk di pelana, namun harus di tempat barang (pack-saddle). Perempuan non-muslim juga tidak boleh memakai pelana dari kulit dan harus duduk di tempat barang kalau naik kuda atau keledai.
"Laksanakan tugas ini segera. Larang mereka mengenakan gaun panjang (qaba'), baju sutra dan surban. Awasi mereka yang berada dalam wilayah kalian untuk tidak melanggar hal ini," tegas Umar bin Abdul Azis.
Pakta Umar ini mirip surat pernyataan yang disodorkan dan wajib ditandatangani oleh keluarga almarhum di Kotagede. Seolah-olah inisiatif keluarga almarhum padahal mereka tidak punya pilihan lain.
*MENJADI RUJUKAN*
Sudah dapat diduga, dokumen pakta ini selanjutnya menjadi semacam yurisprudensi dan dicecap para sarjana muslim yang hidup belakangan, misalnya oleh Imam Syafii (w. 820 M), madzhab fiqh paling populer di kalangan muslim Indonesia, dalam magnum opus Kitab al-Umm. Pakta Umar juga dikutip oleh al-Mawardi (w. 153 M) dalam kitab fiqh politik al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, serta Ibn Kathir (w. 1373 M) dalam Tafsir al-Quran al-'Adzim.
Ketiga karya tersebut hingga saat ini masih dianggap sebagai rujukan penting diskursus hukum dan politik Islam dalam sistem pendidikan Islam Indonesia, termasuk pesantren. Dan belum ada karya intelektual yang berani menganulir "keabsahan" ketiganya.
ABSENNYA ARGUMENTASI
Namun, apakah memisahkan kuburan Muslim dan pemeluk agama lain punya dasar kuat secara tekstual? Sejauh yang saya pelajari, tidak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang memerintahkan pemisahan, penggergajian simbol agama lain di kuburan, atau pelarangan ritual di dalamnya.
Juga, belum saya temukan hadits berstatus mutawattir -- level tertinggi keotentikan sebuah hadits-- terkait hal itu.
Satu-satunya hadits yang berhasil saya temukan berkaitan dengan kuburan non-muslim (mushrik) adalah cerita perjalanan Nabi bersama Bashir yang melewati kuburan Muslim dan non-Muslim sebagaimana direkam dalam Nasai, Abu Dawud, Majah dan Ahmad. Dengan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim dalam kitab Ta'liqat, Dr. Ahmad Shafaat dalam Burying a non-Muslim in a Muslim Cemetery and Vice Versa, menyatakan hadits ini berstatus dlaif (lemah) karena dipersoalkan kevalidannya oleh para ahli hadits
Dengan demikian, aksi pemisahan kuburan muslim dan non-muslim sebenarnya tidak cukup punya basis quranik maupun justifikasi praktek kenabian yang jelas dan tegas. Namun demikian upaya kekerasan terhadap makam Katolik di Kotagede adalah bagian tak terpisah dari paket besar sikap antagonistik Islam klasik terhadap dua agama pendahulunya, Kristen dan Yahudi.
Sikap ini, harus diakui, mendapat porsi sangat besar dalam al-Quran terutama ayat-ayat yang turun saat Nabi di Madinah bersama kekuatan politiknya yang menguat.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan kitab (Yahudi dan Nasrani), hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."
(QS. 9:29).
Terhadap ayat di atas yang masih berstatus aktif (belum dianulir/mansukh) terdapat dua kubu yang berselisih dalam penafsiran. Kubu Islam-ideologis; memaknai ayat ini secara literal dan wajib dikobarkan dalam berbagai bentuk; dari yang paling ekstrim model ISIS hingga yang moderat --memperjuangkan tegaknya negara Islam Indonesia melalui jalur konstitusional. Perusak simbol salib Kota Gede masuk dalam kategori ini.
Di sisi lain, ada kubu Islam substantif yang digawangi oleh alm. Gus Dur. Kubu ini cenderung memaknai ayat ini dalam konteks yang sangat spesifik, yakni situasi perang yang tidak lagi dijumpai saat ini di Indonesia. Umat Islam boleh berperang, menurut kubu ini, jika dan hanya jika diusir dari negerinya secara melawan hukum. Islam substantif takkan melarang percampuran kuburan apalagi tega menggergaji dan menghancurkan salib.(*)
Aan Anshori, kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), studi S2 Hukum Keluarga Islam Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang.
Sumber: FB Aan Anshori